BAB VIII MORALITAS DALAM ILMU DAN TEKNOLOGI DR. Firman Syah, M.Pd. Salah tafsir mengenai ilmu dan kecurigaan terhadap ilmuwan biasanya bersumber pada pembahasan, yang kurang memperhatikan landasan-landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis secara spesifik. Ilmu berupaya mengungkapkan realitas sebagaimana adanya ( das sein), sedang moral pada dasarnya adalah petunjuk-petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia ( das sollen). Hasil-hasil kegiatan keilmuan memberikan alternatif-alternatif untuk membuat keputusan politik dengan berkiblat kepada pertimbangan-pertimbangan moral ethis.
Ilmuwan mempunyai tanggung jawab professional, khususnya didunia ilmu dan dalam masyarakat ilmuwan itu sendiri dan mengenai metodologi yang dipakainya. Ia juga memikul tanggung jawab social, yang bisa dibedakan atas tanggung jawab legal yang formal sifatnya; dan tangggung jawab moral yang lebih luas cakupannya (Depdikbud, 1984). Etika dan Moral Makna etika dapat dikelompokkan menjadi kumpulan nilai dan moral untuk berpikir dan bertindak seorang ilmuwan. Istilah kunci dari bahasa etika adalah sekumpulan nilai, hak, kewajiban, peraturan dan hubungannya. Ilmu sebagia aktifitas dan metode ilmiah juga memiliki etika yang harus dijunjung tinggi, sehingga menghasilkan ilmu mengetahuan yang obyektif (Supriyanto, 2013). Moral, diartikan sebagai etika ( akhlak). Sejak sekitar abad ke 5 sebelum masehi sudah banyak dibicarakan secara mendalam, didiskusikan dan dianalisa dikalangan para pemikir yang memfokuskan diri pada falsafah hidup dan perilaku manusia.
PENDAHULUAN Pengertian etika atau lazimnya disebut etika moral adalah gambaran rasional mengenai hakekat dan dasar perbuatan dan keputusan yang benar serta prinsip-prinsip yang menentukan klaim bahwa perbuatan dan keputusan tersebut secara moral diperintahkan atau dilarang. Etika juga merupakan kebiasaan moral dan sifat perwatakan yang berisi nilai-nilai yang terbentuk dalam tingkah laku dan adat istiadat.Oleh karena itu penelitian etika selalu menempatkan tekanan khusus terhadap defenisi konsep-konsep etika, justifikasi atau penilaian terhadap keputusan moral, sekaligus membedakan antara perbuatan dan keputusan yang baik dan buruk. Secara fisik, manusia ada yang sehat dan ada juga yang cacat, ada yang buta, tuli, lumpuh, dan kekurangan-kekurangan lainnya yang bersifat jasmaniah. Tetapi dapatkah kita menyebutkan bahwa kekurangan-kekurangan jasmaniah tersebut juga menunjukkan adanya kekurangan dalam segi rohani dan kepribadiannya. Sokrates, misalnya, seorang filosof Yunani kenamaan, yang kadang disejajarkan dengan nabi, adalah orang yang amat buruk rupa. Tetapi, keburukan ini tidak dianggap cacat. Atau Abu al-‘Ala Mu’arra dan Thaha Husain, yang hidup di masa sekarang adalah para tunanetra.1 Apakah perilaku mereka juga seburuk penampilannya, ataukah mereka memiliki cacat kepribadian?
Adalah salah bila menganggap rohani tergantung pada jasmani. Setiap manusia yang berpenampilan baik dalam segi jasmaniahnya belum dapat dipastikan memiliki tingkah laku atau perangai yang baik. Hal di atas menunjukkan bahwa penilaian seseorang itu tidak bergantung pada segi jasmaninya. Dalam kehidupan ini, kita sering tertipu dengan orang-orang yang berpenampilan baik sehingga kita menganggap dan menamainya sebagai orang baik. Di televisi dan media massa lainnya, pernah disebutkan: seorang guru mengaji yang sampai tega “mencabuli” murid-murid perempuannya yang masih kecil, atau seorang oknum aparat yang terlibat kasus perampokan, dan pejabat-pejabat yang merupakan “panutan masyarakat” terlibat kasus korupsi dan kolusi, serta contoh-contoh lainnya. Jika dipersempit masalahnya kedalam masyarakat Islam, dan kita sebutkan saja pelaku-pelaku tindakan di atas adalah muslim, maka muncul pertanyaan: apakah pelaku tersebut tidak paham bahwa Islam telah mengajarkan tuntunan-tuntunan yang disebut ilmu akhlak?, jika ia mengerti bahwa dalam Islam ada ajaran akhlak, lantas mengapa ia masih tetap melakukan tindakan yang buruk tersebut? Berdasarkan hal di atas, maka permasalahannya dapat dibagi menjadi dua: Pertama bahwa ia memang tidak paham akan perilaku-perilaku yang sesuai dengan tuntunan akhlak islami.
Kedua, ia mengetahuinya, tetapi tidak mengamalkannya dikarenakan pemahamannya tentang maksud dan hikmah yang terkandung didalam tuntunan-tuntunan tersebut masih terbatas. Dari sini dapat diketahui bahwa akhlak yang berisi tuntunan-tuntunan perilaku muslim, ternyata tidak hanya sebagai “makanan siap saji” yang langsung dapat dimakan tanpa perlu dikaji dan dipikirkan, bahan-bahan apa yang terkandung di dalamnya, apakah makanan tersebut sesuai dengan kondisi tubuhnya dan tidak membawa kemudharatan bagi kesehatannya. Oleh sebab itu, akhlak, sebagai produk siap jadi, ternyata masih perlu dipikirkan kembali, dikaji ulang dan dipahami maksud-maksud yang terkandung didalamnya.
Di sini, filsafat akhlak dan moral menjadi penting untuk dikaji kembali. Bukan untuk meruntuhkan tatanan yang sudah ada, tetapi untuk mengoreksi kembali agar tuntunan tersebut lebih terasa bermakna. Dalam sebuah “Temu ramah masyarakat NU Sumatera Utara” yang diadakan di Medan, Masdar F. Mas’udi, pernah menjelaskan perihal memelihara jenggot. Menurutnya, bahwa Nabi saw., menyuruh umat Islam memelihara jenggot supaya seorang muslim kelihatan berwibawa sehingga dengan jenggot yang lebat, orang-orang non muslim akan menaruh wibawa dan hormat kepadanya. Tetapi perintah ini kurang cocok untuk orang ras melayu (khususnya orang Indonesia rata-rata bertubuh kecil dan tidak berbulu lebat), karena bila seorang melayu memelihara jenggot yang tidak lebat (alias jenggotnya hanya tujuh lembar), maka hal itu tidak akan menimbulkan kewibawaan baginya, malahan bagi orang yang melihatnya akan menjadi sesuatu yang lucu dan konyol. Begitu kata Masdar.
Contoh di atas terkait dengan permasalah etika atau filsafat akhlak, yaitu bagaimana kita dapat menemukan dan memandang nilai-nilai yang baik bagi kehidupan. Sebagai salah satu cabang ilmu filsafat, etika mulai dibicarakan oleh para filosof Yunani hingga ke abad modern ini.
Adalah Sokrates filosof yang pertama kali mengemukakan; untuk apa sebenarnya manusia hidup, bagaimana sebenarnya manusia harus bersikap dalam memandang diri dan kehidupannya, dan memandang nilai-nilai yang harus dijalankan dalam kehidupan ini agar melahirkan konsep-konsep yang dapat diwujudkan dalam kehidupan praktis. Dari sini, tradisi etika pun berlanjut hingga menjadi pembahasan yang tidak luput dari kajian para filosof muslim klasik dengan mengembangkan konsep-konsep etika warisan Yunani dengan prinsip-prinsip utama yang ada dalam ajaran Islam. PERSOALAN ISTILAH: Etika, Moral, dan Akhlak Etika merupakan istilah yang berasal dari bahasa Yunani ethos yang berarti: adat istiadat.5 Sebagai cabang dari filsafat, maka etika berangkat dari kesimpulan logis dan rasio guna untuk menetapkan ukuran yang sama dan disepakati mengenai sesuatu perbuatan, apakah perbuatan itu baik atau buruk, benar atau salah dan pantas atau tidak pantas untuk dikerjakan. Di dalam New Masters Pictorial encyclopaedia dikatakan: ethichs is science of moral philosophy concerned not with fact, but with values; not with caracter of, but the ideal of human conduct.6 (Etika adalah ilmu tentang filsafat moral, tidak mengenai fakta, tetapi tentang nilai-nilai, tidak mengenai sifat tindakan manusia, tetapi tentang idenya). Sebagian orang berpendapat bahwa etika sama dengan akhlak.
Persamaan itu memang ada, karena keduanya membahas masalah baik buruknya tingkah laku manusia. Tujuan etika dalam pandangan filsafat ialah mendapatkan ide yang sama bagi seluruh manusia di setiap waktu dan tempat dengan ukuran tingkah laku yang baik dan buruk sejauh yang dapat diketahui oleh akal fikiran. Akan tetapi dalam usaha mencapai tujuan itu, etika mengalami kesulitan, karena pandangan masing-masing golongan di dunia ini tentang baik dan buruk mempunyai ukuran atau kriteria yang berlainan. Setiap golongan mempunyai konsepsi sendiri-sendiri.7 Adapun perkataan akhlak, berasal dari bahasa Arab jama’ dari khuluqun yang menurut lughat diartikan budi pekerti, perangai, tingkah laku dan tabiat. Kata tersebut mengandung segi-segi keterkaitan dengan perkataan khalqun yang berarti kejadian, serta erat hubungannya dengan khaliq yang berarti pencipta, dan makhluq yang berarti diciptakan. Perumusan pengertian akhlak timbul sebagai media yang memungkinkan adanya hubungan baik antara khalik dengan makhluk dan makhluk dengan makhluk.8 Sementara perkataan moral berasal dari bahasa Latin mores kata jamak dari mos yang berarti adat istiadat.
Dalam bahasa Indonesia, moral diterjemahkan dengan arti susila. Yang dimaksud dengan moral ialah sesuai dengan ide-ide umum yang diterima tentang tindakan manusia, mana yang baik dan wajar. Jadi sesuai dengan ukuran-ukuran tindakan yang oleh umum diterima dalam lingkungan tertentu dan sudah terlembagakan dalam suatu masyarakat.
Ketiga istilah di atas merupakan istilah-istilah yang banyak dipakai untuk mengungkapkan makna yang serupa atau hampir sama. Para peneliti etika secara sadar banyak menyebutkan etika sebagai moral atau juga akhlak.
Filsafat moral disebut juga filsafat akhlak dan sebagainya. Istilah-istilah di atas yang maknanya disamaratakan pada dasarnya tetap memiliki perbedaan, karena dalam segi semantik dapat diketahui bahwa setiap kata pada dasarnya memiliki karakteristik arti atau makna tersendiri yang membedakannya dengan kata lainnya. Karena apabila ada dua kata atau lebih, memiliki makna sama maka akan ada pemubaziran dalam berbahasa. Untuk dapat membedakannya maka dapat diketahui bahwa etika menetapkan ukuran sesuatu bertitik tolak dari akal fikiran, tidak dari agama. Di sini letak perbedaannya dengan akhlak dalam pandangan Islam. Dalam pandangan Islam, ilmu akhlak adalah suatu ilmu pengetahuan yang mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk berdasarkan ajaran Allah dan Rasul-Nya.
Ajaran etika Islam sesuai dengan fitrah akal dan fikiran yang lurus. Sementara perbedaannya antara moral dan etika, yakni etika lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis. Jika kita boleh menarik garis batas antara moral dan etika, maka moral adalah aturan-aturan normatif (dalam bahasa agama Islam disebut akhlak) yang berlaku dalam suatu masyarakat tertentu yang terbatas oleh ruang dan waktu. Penerapan tata moral dalam kehidupan sehari-hari dalam masyarakat tertentu menjadi bidang kajian antropologi, sedang etika adalah bidang kajian filsafat. Realitas moral dalam kehidupan masyarakat yang terjernihkan lewat studi kritis (critical studies) adalah wilayah yang dibidangi oleh etika. Jadi studi kritis terhadap moralitas menjadi wilayah etika, sehingga moral tidak lain adalah objek material daripada etika.9 Berbeda dari etika (filsafat moral), maka akhlak lebih dimaksudkan sebagai suatu ‘paket’ atau ‘produk jadi’ yang bersifat normatif-mengikat, yang harus diterapkan dan direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari seorang muslim, tanpa perlu mempertanyakan dan menyelidiki secara kritis terlebih dahulu.
Akhlak atau moralitas adalah merupakan seperangkat tata nilai yang ‘sudah jadi’ dan ‘siap pakai’ tanpa dibarengi, bahkan menghindari studi kritis. Sedangkan etika justru sebaliknya, bertugas untuk mempertanyakan secara kritis rumusan-rumusan masa lalu yang sudah menggumpal dan mengkristal dalam lapisan masyarakat.10 Dalam bahasa Indonesia, selain menyerap istilah etika, moral dan akhlak, juga digunakan beberapa perkataan yang makna dan tujuannya sama atau hampir sama, yaitu tata susila, kesusilaan, budi pekerti, sopan santun, adab, perangai dan tingkah laku atau kelakuan. ETIKA DALAM AL-QUR AN Sebagaimana yang telah dijelaskan di awal bahwa al-Qur’an berisi nilai-nilai ethos yang akhirnya membentuk sistem etika Islam. Namun tidak dalam bentuk baku, karena teks-teks suci tersebut memuat banyak penafsiran. Term-term dalam al-Qur’an yang berkenaan dengan masalah etika akan menjadi fokus pembahasan ini. Tentunya tidak semuanya dapat diuraikan. Ada beberapa hal yang dianggap paling menyentuh dalam konsep etika seperti penggunaan kata al-khayr, al-birrr, al-qisth, al-ma’ruf, dan beberapa kata lainnya akan dapat dijumpai dalam al-Qur’an dan menjadi dasar-dasar pembentukan etika Islam.
BEBERAPA MASALAH ETIKA Sebelum masuk kedalam pembahasan atau permasalahan yang berkaitan dengan etika, maka perlu diketahui tipe atau karakteristik yang dapat memungkinkan kita melihat konsep-konsep pemikiran para pemikir muslim berkaitan dengan konsep etika. Madjid Fakhry menjelaskan karakteristik etika Islam dengan membaginya ke dalam dua tipe, yaitu: etika teologis dan etika filosofis. Tipe etika teologis di dalamnya terdapat tiga aliran besar: (a) aliran rasional yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Qadariah dan Mu’tazilah, (b) semi rasionalis dan voluntaris yang didirikan oleh Abu Hasan al-Asy’ari yang cenderung lebih tunduk terhadap terhadap otoritas kitab suci daripada kaidah-kaidah rasional. Penganut aliran ini adalah al-Baqilaini, al-Baghdadi, al-Juwaini, al-Ghazali dan Fakhr al-din al-Razi. Aliran yang ketiga adalah anti rasionalis (zahiriyah), yang mengharuskan agar kitab suci sebagai sumber pokok kebenaran diinterpretasikan secara harfiah.
Tokoh-tokohnya di antaranya Ibnu Hazm dan Ibnu Taimiyah. Sedangkan etika filosofis pada awalnya dipengaruhi aliran-aliran filsafat Yunani. Karya-karya moral yang mula-mula ditulis oleh al-Kindi dan al-Razi mencerminkan pengaruh filsafat Plato dan Sokrates seperti yang dibentuk oleh pemikiran Cynic dan Stoa. Dalam tulisan-tulisan para filosof seperti al-Farabi, Ibnu Sina, dan Yahya ibn ‘Adi, pengaruh Platonisme lebih terasa dalam tulisan-tulisan mereka dan dimensi politik mulai tampak pada masa ini, di mana sebelumnya tidak ada.
Di dalam karya etika Miskawaih, Platonisme berperan sebagai dasar pijakan elaborasi sistem etika di mana di dalamnya tali-tali Aristotelian, Neo Platonisme dan Stoa saling bertemu, yang mungkin di bawah pengaruh komentar Porphiry yang salah mengenai karya Aristotelas Nicomachean ethics yang terkenal berasal dari sumber-sumber Arab. Akan tetapi di sini pulalah dimensi politik menjadi berkurang. Dimensi politik muncul kembali secara penuh dalam tulisan-tulisan Nasr al-Din al-Tusi yang menggambarkan jauh lebih baik mengenai kesatuan organis antara politik dan etika daripada pendahulunya.13 Sejauh yang dapat diketahui mengenai pokok-pokok pembahasan etika, di bawah ini akan dapat dilihat beberapa pandangan pemikir muslim—khususnya para filosof—dalam beberapa hal seperti masalah jiwa, tingkah laku (akhlak), kebaikan dan keburukan.
Jiwa Pembahasan tentang jiwa banyak diperbincangkan para filosof muslim dari masa klasik hingga modern. Sejak al-Kindi sampai Murtadha Muthahhari, persoalan jiwa masih menjadi perbincangan hangat. Ada yang menganggap jiwa sama dengan ruh atau nyawa, ada juga yang membedakannya, apakah jiwa juga berarti nafsu, apakah ia juga berarti akal, masing-masing ahli punya pendapat yang berbeda-beda karena dalam ajaran Islam masalah jiwa adalah rahasia Tuhan. Secara pasti manusia tidak mengetahui hakekat sebenarnya, manusia hanya mengetahui sedikit saja melalui informasi teks suci.14 Jiwa manusia merupakan rahasia Tuhan yang terdapat pada hamba-Nya dan menjadi kebesaran Tuhan pada makhluk-Nya serta teka teki kemanusiaan yang belum dapat dipecahkan dan barangkali tidak akan bisa dipecahkan dengan memuaskan. Memang jiwa menjadi sumber pengetahuan bermacam-macam dan tidak tebatas, tetapi belum lagi diketahui hakikatnya dengan segala keyakinan. Jiwa menjadi sumber-sumber pikiran yang jelas, namun sebagian besar pikiran-pikiran tentang jiwa diliputi oleh kegelapan dan kerahasiaan, meskipun manusia sejak masa pertamanya sampai sekarang ini masih selalu berusaha dan menyelidiki apa hakikatnya jiwa serta pertaliannya dengan badan. Permasalahan jiwa dalam kajian etika berfokus pada pengenalan terhadap jiwa tersebut sehingga digali potensi-potensinya untuk melahirkan kondisi jiwa yang baik dan melahirkan perbuatan yang baik pula, sesuai dengan fitrah dan kemauan jiwa kemanusiaan.
Para filosof muslim, hampir semua sepakat menyatakan bahwa dalam kajian etika, modal dasar yang harus diketahui terlebih dahulu adalah pengetahuan tentang jiwa. Setiap tingkah laku atau perbuatan yang lahir merupakan cermin dari kondisi jiwanya. Perilaku yang baik akan lahir dari kondisi jiwa yang sehat, sedangkan perilaku yang buruk merupakan sebab dari kondisi jiwa yang buruk pula.
Al-kindi menjelaskan, bahwa dalam diri manusia, terdapat ruh atau jiwa yang mempunyai tiga daya atau kekuatan. Daya bernafsu yang berpusat di perut, daya berani yang berpusat di dada, dan daya berfikir yang berpusat di kepala.
Daya berfikir inilah yang disebut akal.15 Seseorang yang dapat menguasai tiga daya tersebut dan dapat mengendalikannya ke arah yang baik maka orang tersebut telah berhasil dalam mengaktualisasikan jiwa dalam kehidupannya. Perhatian yang khusus terhadap masalah jiwa telah dilakukukan oleh Ibnu Sina, salah satu kitabnya yaitu Risalah al-Quwa al-Nafsiah telah membahas tentang kekuatan jiwa dengan tinjauan filsafat. Ia secara garis besar telah membagi segi-segi kejiwaan menjadi dua segi. Pertama, Segi fisika, yang membicarakan tentang macam-macam jiwa (jiwa tanam-tanaman, jiwa hewan, dan jiwa manusia), pembagian kebaikan-kebaikan,; jiwa manusia, indera dan lain-lain dan pembahasan-pembahasan lainnya yang biasa termasuk dalam pengertian ilmu jiwa yang sebenarnya. Kedua, Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud haikikat jiwa, pertalian jiwa dengan badan dan keabadian jiwa.16 Al-Ghazali menjelaskan bahwa jiwa itu dapat dilatih, dikuasai dan diubah kepada akhlak yang mulia dan terpuji. Tiap sifat tumbih dari hati manusia dan memancarkan akibatnya kepada anggotanya.
Seseorang yang ingin menulis bagus, pada mulanya harus memaksakan tangannya membiasakan menulis bagus. Apabila kebiasaan ini sudah lama, maka paksaan tidak diperlukan lagi karena digerakkan oleh jiwa dan hatinya.17 Ibnu Miskawaih, seorang filosof muslim yang terkenal dengan kitabnya Tahdzib al-Akhlak menjelaskan bahwa jiwa adalah sesuatu yang bukan tubuh, bukan pula bagian dari tubuh dan juga bukan materi (‘aradh). Jika “jiwa” tersebut semakin jauh dari hal-hal jasadi, maka jiwa semakin sempurna, apabila jiwa bebas dari indera, maka jiwa semakin kuat dan sempurna serta semakin mampu menilai yang benar dan menangkap ma’qulat yang simpel. DAFTAR PUSTAKA. A.E.
Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995. Ahmad Amin, Ethika (Ilmu Akhlak), alih bahasa: Farid Ma’ruf, Bulan Bintang, Jakarta, 1995. Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995. Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996. Harun Nasution, Filsafat & Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973. Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965. Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj.
Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M.
Hashem, Lentera, Jakarta, 1994. Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985. Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995 Footnote - 1 Murtadha Muthahhari, Manusia Sempurna, terjemahan: M. Hashem, Lentera, Jakarta, 1994, h. 15 2Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj.
Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. Xv 3 Richard G. Hovannisian (editor), Ethics In Islam, Undena Publications, California, 1985, h. 18 4 Ibid., h. Xvii 5 Hamzah Ya’kub, Etika Islam, Diponegoro, Bandung, 1996, h. 13 6 Lewis Mulford Adam, New Masters Pictorial Encyclopaedia, A Subsidiary of Publishers, New York, 1965, h.
560 7 Hamzah Ya’kub, Op cit., 8 Ibid., h. 11 9 Amin Abdullah, Falsafah Kalam di Era Postmodernisme, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1995, h. 147 10 Ibid., 11 Toshihiko Izutsu, Etika Beragama Dalam Qur’an, terj. Mansurddin Djoely, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1995, h.
27-28 12 Madjid, h. 2 13 Madjid Fakhry, Etika Dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996, h. Xix 14 Dalam al-Qur’an dikatakan jiwa (ruh/nafs-jiwa) menjadi sumber hidup dan diambil dari tuhan (lihat: QS. Shad: 71-72) dan bahwa jiwa itu merupakan rahasia Tuhan pada makhluknya, yang oleh karena itu jika manusia tidak bisa mengetahui hakekatnya, maka tidaklah mengherankan.
Al-Isra’: 85) al-Qur’an juga menginformasikan tentang “jiwa penegur” (al-nafs al-lawwamah) yang tidak suka kepada perbuatan-perbuatan rendah (QS. Al-Qiyamah: 1-2) kemudian tentang tingkatan jiwa tertinggi, yaitu “jiwa yang tenang” (al-nafs al-muthmainnah) (QS. Al-Fajr: 27) dan tempat kembali semua jiwa adalah Tuhan (QS. Al-Zumar: 42). Ahmad Hanafi, Pengantar filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996) h. 121 15 Harun Nasution, Filsafat & mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1973, h.
18 16 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1996, h. 126 17 Hamzah Ya’kub, h. 92 18 Ibn Miskawaih, Menuju Kesempurnaan Akhlak, terjemahan. Helmi Hidayat, Mizan, Bandung, 1997, h. 36 19 Ibid., h. 43-44 20 Hamzah Ya’kub., h. 91 21 Ibid., h.
92 22 Muthahhari., h. 85 23 Ahmad Hanafi, h. 159 24 Ibid., 25 A.E. Affifi, Filsafat Mistis Ibnu ‘Arabi, terjemahan: Sjahrir Mawi, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1995, h. 215-217 26 Ibid., h. 218 27 Ibn Miskawaih., h.
40-41 28 Hamzah Ya’kub., h.
IMPLEMENTASI NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS BANGSA Oleh: Novi Dwi Ambarwati.) ARTI NILAI DAN MACAM-MACAM NILAI Dalam kehidupan manusia selalu berkaitan dan tak pernah lepas dengan nilai, seperti yang diketahui bahwa manusia senantiasa menilai dan dinilai. Arti dari nilai sendiri merupakan sesuatu yang berharga, bermutu, menunjukan kualitas dan berguna bagi manusia. Bahwa jika sesuatu itu bernilai berarti berharga atau berguna bagi kehidupan manusia. Masyarakat Indonesia bepegang pada pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia yang menjadi dasar negara, dimana pancasila merupakan suatu kesatuan yang utuh nilai-nilai budi pekerti dan moral. Nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila pada dasarnya melekat pada setiap individu, sehingga dari kelima pancasila tersebut berlaku bagi perseorangan maupun masyarakat. Perwujudan dari nilai seperti norma atau aturan, tanpa adanya norma nilai tidak mampu berfungsi secara kongkrit dalam kehidupan sehari-hari.
Yang pada akhirnya nilai yang tampak dalam kehidupan masyarakat sehari-hari adalah norma seperti: norma agama, norma moral (etika), norma kesopanan, dan norma hukum.) Novi Dwi Ambarwati, Mahasiswa Program Studi PGSD UPY Adapun sifat-sifat nilai menurut Bambang Daroeso (1986) bahwa nilai:. Suatu realitas abstrak dan ada dalam kehidupan manusia yaitu, nilai tidak dapat diindra melainkan yang dapat diamati hanyalah objek yang bernilai itu. Misalnya orang yang memiliki kejujuran.
Kejujuran memang merupakan suatu nilai, tetapi kita tidak dapat mengindra kejujuran tersebut. Yang dapat kita indra adalah kejujurannya dalam bentuk perbuatannya secara nyata. Nilai memiliki sifat yang normative, yaitu nilai mengandung sebuah harapan, cita-cita dan suatu keharusan sehingga nilai memiliki sifat ideal atau sempurna yang diwujudkan dalam bentuk norma. Misalnya nilai keadilan, semua orang pasti berharap mendapatkan keadilan dan perlakuan yang sama yang mencerminkan suatu nilai keadilan. Nilai berfungsi sebagai pendorong / motivator dan manusia sebagai pendukung nilai. Misalnya nilai ketakwaan, dengan adanya nilai ini akan menjadikan semua orang terdorong untuk bisa mencapai derajat ketakwaan tersebut.
Walter G.Everet menggolongkan nilai-nilai manusiawi menjadi 8 kelompok, yaitu:. Nilai Ekonomis, ditunjukan oleh harga pasar dan meliputi semua benda yang dapat dibeli.
Nilai kejasmanian, Mengacu pada kesehatan badan. Nilai hiburan, Nilai-nilai permainan dan waktu senggang yang dapat menyumbang pada pengayaan kehidupan. Nilai Sosial, berasal dari berbagai tingkatan manusia. Nilai watak, keseluruhan dari keutuhan keseluruhan kepribadian dan sosial yang diinginkan.
Nilai Estetis, nilai-nilai keindahan dalam alam dan karya seni. Nilai intelektual, nilai-nilai pengetahuan dan kebenaran.
Nilai Keagamaan, nilai-nilai yang ada dalam agama (Rukiyati, 2008: 60). Sedangkan menurut Notonegoro nilai di bagi 3 yaitu:. Nilai Material, Segala sesuatu yang berguna bagi kehidupan jasmani atau kebutuhan ragawi manusia.
Misalnya: Kebutuhan makan, minum, sandang, kesehatan. Nilai Vital, Segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk dapat mengadakan suatu kegiatan atau aktivitas. Misalnya: Semangat, kemauan, kerja keras. Nilai Kerohanian, Segala sesuatu yang berguna bagi rohani manusia. Nilai-nilai Kerohanian meliputi: a) Nilai kebenaran yang bersumber pada akal ( rasio, budi, cipta) manusia.
B) Nilai keindahan atau nilai estetis yang bersumber pada yang bersumber pada unsur perasaan ( emotion) manusia. C) Nilai kebaikan atau nilai moral yang bersumber pada unsur kehendak (karsa) manusia. D) Nilai religius yang merupakan nilai kerohanian tertinggi dan mutlak, yang bersumber dari kepercayaan dan keyakinan manusia. Kesemua nilai diatas masih ada yang bersifat abstrak yang disebut sebagai nilai dasar, karena nilai-nilai tersebut berada dalam pemikiran manusia, tidak dapat ditangkap dengan pancaindra. Dalam kehidupan bernegara maka pancasila sebagai dasar negara merupakan nilai dasar (Rukiyati, 2008: 61).
PANCASLA SEBAGAI SISTEM NILAI Pancasila sebagai suatu dasar negara, pada dasarnya dalam isi pancasila yang terdiri dari lima sila hakikatnya merupakan suatu sistem nilai. Sistem dapat diartikan sebagai suatu keseluruhan, yang saling berkaitan, berhubungan, satu sama lain dan apabila salah satu hilang maka terjadi tidak keseimbangan. Misalnya, dalam pancasila setiap sila yang terkandung didalamnya saling berkaitan satu sama lain, mengandung serangkaian nilai yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Dari kelima nilai tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh yang mengacu pada suatu tujuan. Maka pancasila merupakan sebagai sistem dalam arti bahwa bagian- bagian silanya saling berhubungan secara erat sehingga membentuk suatu struktur yang menyeluruh. Dari uraian diatas maka sistem nilai merupakan konsep atau gagasan yang menyeluruh mengenai apa yang ada dalam pemikiran seseorang yang mereka pandang baik, berharga, dan penting dalam kehidupan mereka. Sistem nilai berfungsi sebagai pedoman manusia untuk memberi arah dalam kehidupan mereka.
MAKNA NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM SETIAP SILA PANCASILA Setiap sila dalam pancasila terkandung nilai-nilai didalamnya, antara lain:. Ketuhanan Yang Maha Esa Sila Ketuhanan Yang Maha Esa nilai-nilainya meliputi keempat sila lainya. Dalam sila ini mengandung arti adanya pengakuan dan keyakinan bangsa terhadap Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
Nilai ini menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius bukan bangsa yang ateis (tidak mengakui Tuhan). Nilai ketuhanan juga berarti mengakui adanya pengakuan akan kebebasan untuk memeluk agama, menghormati kemerdekaan beragama, tidak ada paksaan untuk beragama serta tidak berlaku tidak adil antar umat beragama.
Masyarakat yang bedasarkan pancasila, dijamin kebebasan memeluk agama masing-masing. Dengan Ketuhanan yang Maha Esa maka bangsa Indonesia mempunyai asas yang dipegang teguh yaitu bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agama masing-masing. Untuk menjamin kebebasan tersebut di dalam pamcasila masyarakat dijamin berkembang dan tumbuh subur kehidupan beragamanya dan diwajibkan untuk saling toleransi antar umat dan dalam beragama. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab di dasari oleh sila Ketuhanan Yang Maha ESa, dan mendasari ketiga sila berikutnya. Nilai kemanusiaan tersebut pada hakikatnya adalah susunan kodrat rokhani (jiwa) raga, kodrat individu dan makhluk sosial.
Nilai Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandunng nilai bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dam martabat manusia sebagai makhluk yang beradab. Dalam sila Kemanusiaan ini yaitu suatu kesadaran sikap dan perilaku manusia sesuai dengan nilai-nilai moral dalam hidup bersama yang didasarkan pada tuntutan hati nurani manusia dalam hubungan norma-norma dan kebudayaaan pada umumnya baik diri sendiri, manusia, lingkungan dengan melakukan suatu hal dengan semestinya. Persatuan Indonesia Nilai Persatuan Indonesia mempunyai makna untuk kearah bersatu dalam keseluruhan rakyat untuk membina rasa nasionalisme dalam Negara Kesatuan Rebuplik Indonesia. Dengan sila ketiga ini diharapkan untuk persatuan Indonesia sekaligus mengakui dan menghargai sepenuhya terhadap keanekaragaman yang miliki bangsa Indonesia. Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan /Perwakilan Nilai Kerakyatan ini mengandung makna suatu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat dengan cara musyawarah mufakat yaitu melakukan keputusan bersama, setelah itu baru melakukan tindakan bersama melalui lembaga-lembaga perwakilan. Untuk mencapai hasil yang sebaik-baiknya di dalam kehidupan bermasyarakat, maka kebijakan-kebijakan itu harus merupakan suatu nilai yang baik. Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia Sila kelima pada pancasila yang berbunyi Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia bermakna bahwa nilai tersebut sebagai dasar sekaligus tujuan, yaitu tercapainya masyarakat Indonesia yang Adil dan Makmur secara lahiriah maupun batiniah.
Keadilan berarti adanya persamaan dan saling menghargai karya orang lain. Kemakmuran yang merata bagi bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis, yaitu adanya sebuah upaya yang lebih tinggi dan lebih baik hal tersebut berarti Peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran. Seluruh kekayaan alam yang ada tidak dikuasai oleh sekelompok orang, tetapi harus untuk kesejahteraaan dan kepentingan bersama, hal itulahlah yang disebut Adil. PENERAPAN NILAI-NILAI PANCASILA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT Upaya –upaya dalam mewujudkan pancasila sebagai sumber nilai dengan menjadikan nilai dasar pancasila sebagai sumber pembentukan norma etik (norma moral) dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa serta bernegara.
Nilai- nilai dalam pancasila adalah norma moral yang dapat di wujudkan ke norma-norma etik, selanjutnya nila norma-norma tersebut dapat digunakan sebagai pedoman atau acuan dalam bersikap, tingkah laku, dalam kehidupan sehari-hari. Penerapan nilai-nilai pancasila tersebut terdapat dalam:. Etika Sosial dan Budaya Masyarakat bersikap jujur, saling perduli, saling memahami,saling menghargai, dan saling tolong menolong antar sesama manusia dan tidak membeda-bedakan satu sama lain. Dengan begitu juga akan menghidupkan kembali budaya malu pada masyarakat, yaitu malu untuk berbuat salah dan semua hal yang bertentangan dengan nilai moral, agama, dan nilai-nilai luhur budaya suatu bangsa.
Oleh karena itu perlu keteladanan serta diperlihatkan contoh pada setiap pemimpin kepada semua lapisan masyarakat. Etika Pemerintahan dan Politik Adanya Etika ini bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, dapat menumbuhakan suasana politik demokratis yang terbuka, rasa tanggung jawab, tanggap akan aspirasi rakyat, menghargai perbedaan, jujur dalam persaingan, bersedia untuk menerima pendapat dari orang lain baik perseorangan maupun kelompok, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia. Etika Ekonomi dan Bisnis Maksud dari etika ekonomi dan bisnis ini yaitu agar prinsip dan perilaku ekonomi baik pribadi maupun institusi dapat menghasilkan kondisi ekonomi yang bercirikan persaingan yang jujur, adil, mendorong berkembangnya etos kerja serta kemampuan bersaing serta terciptanya suasana yang kondusif untuk kesejahteraan ekonomi rakyat melalui usaha bersama. Hal ini bertujuan untuk menghindari kecurangan praktik-praktik ekonomi yang bernuansa KKN yang pada akhirnya berdampak negative terhadap kejujuran, persaingan sehat dan keadilan, serta untuk menghindarkan segala cara atau perilaku dalam memperoleh keuntungan. Etika Penegakan Hukum yang Adil Etika ini bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial, ketenangan, dan keteraturan hidup bersama, bermasyarakat hanya dapat diwujudkan dengan adanya tatanan hukum dan peraturan-peraturan yang ada.
Etika Keilmuan dan Disiplin Kehidupan Diwujudkan dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan teknologi agar mampu berpikir rasional, kritis, logis. Etika ini di tampilkan secara pribadi seperti perilaku gemar membaca, menulis, belajar dan kreatif dalam menciptakan karya-karya baru. Dengan adanya nilai-nilai pancasila dalam norma-norma etik berbangsa, dan bernegara dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ada beberapa hal yang perlu dilakukan agar berhasilnya perilaku berdasarkan pada norma-norma etik kehidupan bebangsa dan bernegara antara lain: a) Proses penanaman dan pembudayaan etika hendaknya menggunakan agama dan budaya sehingga menyentuh hati nurani, mengandung simpati dan dukungan dari masyarakat. Dan apabila sanksi moral tersebut tidak lagi efektif maka penegakan hukum harus dilakukan secara tegas. B) Proses penanaman budaya tersebut dilakukan melalui pendekatan komunikasi, dialog, tidak secara paksaan. C) Dalam meningatkan etika tersebut melibatkan seluruh masyarakat.
Makalah Tentang Etika
D) Perlu ditingkatkan etika-etika profesi lain seperti; profesi kedokteran dan pokok-pokok etika tersebut perlu ditaati segenap anggotanya. E) Mengaitkan pembudayaan berbangsa, bernegara dan masyarakat sebagai bagian dari sikap keberagaman. Penerapan lain nilai-nilai pancasila yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu:. Penerapan nilai-nilai Pancasila dilingkungan sekolah, misalnya: a) Menghormati bapak ibu guru. B) Menghormati kepala sekolah dan karyawan sekolah. C) Menghormati kakak-kakak kelas.
D) Mendengarkan penjelasan guru ketika menerangkan materi pelajaran. E) Memberi salam dan menyapa ketika berpapasan dengan teman-teman sekolah. Penerapan nilai-nilai Pancasila dilingkungan masyarakat, misalnya: a) Mengucapkan salam ketika berjalan melewati orang lain. B) Mengetuk pintu dan mengucapkan salam ketika bertamu ketempat oang lain. C) Mengikuti berbagai pertemuan yang diadakan RT/RW. D) Ikut berperan dalam kegiatan yang diadakan karang taruna sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. E) Menjenguk masyarakat jika ada yang sedang sakit.
WACANA AKHIR Pancasila sebagai sistem nilai sangat penting dalam kehidupan masyarakat, nilai-nilai yang terkandung dalm setiap sila pancasila mempunyai makna tersendiri. Peran penting nilai-nilai pancasila dalam kehidupan masyrakat sebagai pemersatu bangsaIdonesia. Penerapan-penerapan yang di lakukan sebagai berikut: a) Menerapkan nilai-nilai moral, melalui berbagi norma etika. B) Meningkatkan rasa persatuan dan kesatuan berbangsa, bernegara serta bermasyarakat. C) Meningkatkan nilai-nilai moral dalam kehidupam masyarakat yang melibatkan seluruh masyarakat serta pemerintah.
D) Menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan sekolah. DAFTAR PUSTAKA Budiyanto, M. Kewarganegaran untuk SMA kelas x. Jakarta: Erlangga. Kaelan, Prof. Pendidikan Kewarganegaraan. Yogyakarta: PARADIKMA.
Rakhmat, Arif, S.Pd. Purworejo: Alfa Betha. Pendidikan Pancasila.
Yogyakarta: UNY Perss/2008. Makna nilai dalam Pancasila.
( Online ) ( bareng rizky. Blogspot.com/2011/04/Makna- nilai –dalam-pancasila.html, diakses tanggal 4 April 2012) Rizky. Nilai Pancasila menjadi Sumber Norma. ( Online ) ( bareng risky. Com/2011/04/ Nilai- Pancasila –menjadi sumber norma-07. Html, diakses tanggal 4 April 2012) Rizky.
Pancasila sebagai sumber nilai. (Online) (.Univpancasila.ac.id/ berita-1361-Pancasila-sebagai-sumber-nilai.html, diakses tanggal 4 April 2012).
Pendahuluan Dalam sejarah kehidupan manusia ilmu telah menjadi aktor utama dalam membangun peradaban manusia sampai akhirnya dapat berbentuk peradaban semegah saat ini. Ilmu telah banyak memberikan kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhannya dalam segala aspek kehidupan. Dengan kata lain, kehadiran ilmu telah merubah wajah dunia dari periode kuno sampai periode kontemporer. Alhasil, dengan kemajuan ilmu manusia dapat memberantas penyakit, memakai alat transportasi, membangun sarana irigasi, membangun sarana pemukiman, menikmati kemudahan komunikasi jarah jauh dan lain sebagainya.
Kemudian timbul pertanyaan, apakah ilmu selalu merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia? Dan memang sudah terbukti, dengan kemajuan ilmu pengetahuan manusia dapat menciptakan berbagai bentuk teknologi. Misalnya, pembuatan bom yang pada awalnya untuk memudahkan kerja manusia, namun kemudian dipergunakan untuk hal-hal yang bersifat negatif yang menimbulkan malapetaka bagi manusia itu sendiri, seperti yang terjadi di Palu, Kantor Kedutaan Australia dan Bali baru-baru ini dan menciptakan senjata kuman yang dipakai sebagai alat untk membunuh sesama manusia. Di sinilah ilmu harus diletakkan secara proporsional dan memihak pada nilai-nilai kebaikan dan dan kemanusiaan.
Sebab, jika ilmu tidak berpihak pada nilai-nilai, maka yang terjadi adalah bencana dan malapetaka. Pengembangan dan pemakaian ilmu yang tidak di kontrol oleh apapun (baca agama, etika dan moral) dan tidak mengindahkan kerusakan yang dibawanya ke masyarakat, justru akan mengembalikan manusia pada habitat sebenarnya yaitu dunia binatang, di mana di dalam dunia binatang tidak berlaku hukum apapun (hukum rimba). Saling membunuh, memangsa dan dominasi yang terkuat merupakan pemandangan sehari-hari yang biasa ditemukan. Akankah dunia manusia seperti itu? Menurut Baktiar bahwa ilmu pengetahuan yang begitu dibanggakan pada suatu saat dapat meruntuhkan suatu peradaban dan menimbulkan bencana bagi manusia. Contohnya, kematian ratusan ribu rakyat Jepang ketika bom atom dijatuhkan di Hirosima dan Nagasaki. Penemuan teknologi atom di satu sisi mendatangkan dampak yang baik, di sisi lain dapat menimbulkan bencana.
Kurs Geometria Analityczna. Granice funkcji trygonometrycznych. KURS FUNKCJI WIELU ZMIENNYCH.part1.rar KURS FUNKCJI WIELU ZMIENNYCH.part2.rar KURS FUNKCJI WIELU ZMIENNYCH.part3.rar KURS FUNKCJI WIELU ZMIENNYCH.part4.rar 5. Kurs Granice.
Karena itu, seorang ilmuwan kalau tidak mempunyai komitmen moral terhadap nilai kemanusiaan, dia bisa berbuat dengan bebas tanpa batas. Dia tidak mempermasalahkan apakah teknologi yang dihasilkannya digunakan untuk hal yang konstruktif atau yang destruktif. Di sini moral sebagai ajaran dasar agama sangat diperlukan. Hukuman yang diterima oleh para ilmuwan yang menyalahgunakan penemuannya, tidak saja kutukan dari umat manusia, tetapi juga kutukan dari Tuhan. Kalau ancaman dari Tuhan ini dapat ditanamkan lebih kuat dalam hati ilmuwan, niscaya tidak seorang pun ilmuwan yang menyalahgunakan ilmu dan teknologi. Terkait dengan di atas, Islam sebagai agama telah banyak memberikan petunjuk tentang eksistensi ilmu, arah pengembangan ke depan dengan tetap memperhatikan etika keilmuan dan tanggung sosial. Terlebih lagi Islam (yang di dalamnya al-Qur’an) merupakan ensiklopedia ilmu pengetahuan – sumber dari segala sumber ilmu pengetahuan.
Jadi, dalam dunia Islam al-Qur’an merupakan landasan moral dan etika dalam pengembangan keilmuan agar ilmu dan teknologi yang dihasilkan tepat guna dan maslahat bagi peradaban manusia. Dan apapun yang dilakukan untuk pengemabangan ilmu pengetahuan berlandaskan pada prinsip ibadah untuk mendapatkan ridha-Nya. Dari realita dalam wacana di atas, penulis tertarik mengangkat tentang etika keilmuan dan tanggung jawab sosial ilmuwan. Topik tersebut merupakan sebuah kajian aksiologis tentang nilai dan kegunaan ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Semoga dengan makalah ini sedikit mampu memberikan kontribusi positif dalam pengembangan keilmuan kita.
Untuk lebih jelasnya akan dideskripsikan pada pembahasan berikut ini. Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuwan Perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan telah menciptakan berbagai bentuk kemudahan bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Namun apakah hal itu selalu demikian? Bahwa ilmu pengetahuan dan teknologinya merupakan berkah dan penyelamat bagi manusia, terbebas dari kutukan yang membawa malapetaka dan kesengsaraan? Memang dengan jalan mempelajari teknologi seperti pembuatan bom atom, manusia bisa memanfaatkan wujudnya sebagai sumber energi bagi keselamatan manusia, tetapi di pihak lain hal ini bisa juga berakibat sebaliknya, yakni membawa manusia kepada penciptaan bom atom yang menimbulkan malapetaka.
Menghadapi hal yang demikian, ilmu pengetahuan yang pada esensinya mempelajari alam sebagaimana adanya, mulai dipertanyakan untuk apa sebenarnya ilmu itu harus dipergunakan? Untuk menjawab pertanyaan seperti itu, apakah para ilmuwan harus berpaling ke hakikat moral? Bahwa ilmu itu berkaitan erat dengan persoalan nilai-nilai moral. Keterkaitan ilmu dengan nilai-nilai moral (agama) sebenarnya sudah terbantahkan ketika Copernicus mengemukakan teorinya “bumi yang berputar mengelilingi matahari” sementara ajaran agama (Kristen) menilai sebaliknya, maka timbulah interaksi antara ilmu dengan moral yang berkonotasi metafisik, sedangkan di pihak lain, terdapat keinginan agar ilmu mendasarkan kepada pernyataan-pernyataan yang terdapat dalam ajaran-ajaran di luar bidang keilmuan, diantaranya agama.
Timbullah konflik yang bersumber pada penafsiran metafisik ini, yang berkulminasi pada pengadilan inkuisisi Galileo, yang oleh pengadilan dipaksa untuk mencabut pernyataannya bahwa bumi berputar mengelilingi matahari. Pengadilan inkuisisi Galileo ini selama kurang lebih dua setengah abad mempengaruhi proses perkembangan berpikir di Eropa.
Dalam kurun waktu ini, para ilmuwan berjuang untuk menegakkan ilmu berdasarkan penafsiran alam sebagaimana adanya dengan semboyan “ilmu yang bebas nilai”, setelah pertarungan itulah ilmuwan mendapatkan kemenangan dengan memperoleh keotonomian ilmu. Artinya kebebasan dalam melakukan penelitiannya dalam rangka mempelajari alam sebagaimana adanya. Setelah ilmu mendapatkan otonomi yang terbebas dari segenap nilai yang bersifat dogmatis, ilmu dengan leluasa dapat mengembangkan dirinya baik dalam bentuk abstrak maupun konkret seperti teknologi. Teknologi tidak diragukan lagi manfaatnya bagi manusia. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana dengan teknologi yang mengakibatkan proses dehumanisasi dan kerusakan lingkungan sekitar, apakah ini merupakan masalah kebudayaan ataukah masalah moral, apabila teknologi itu menimbulkan ekses yang negatif terhadap masyarakat. Dihadapkan dengan masalah moral dalam ekses ilmu dan teknologi yang bersifat merusak, para ilmuwan terbagi ke dalam dua golongan pendapat.
Golongan pertama berpendapat bahwa ilmu harus bersifat netral terhadap nilai-nilai baik itu secara ontologis maupun aksiologis. Dalam hal ini ilmuwan hanyalah menemukan pengetahuan dan terserah kepada orang lain untuk mempergunakannya, apakah akan dipergunakan untuk tujuan yang baik ataukah untuk tujuan yang buruk. Golongan ini ingin melanjutkan tradisi kenetralan ilmu secara total, seperti pada waktu era Galileo. Golongan kedua berpendapat bahwa netralitas ilmu terhadap nilai-nilai hanyalah terbatas pada metafisik keilmuan, sedangkan dalam penggunaannya haruslah berlandaskan nilai-nilai moral. Golongan kedua mendasarkan pendapatnya pada beberapa hal, yakni: 1. Ilmu secara faktual telah dipergunakan secara destruktif oleh manusia, yang dibuktikan dengan adanya dua perang dunia yang mempergunakan teknologi-teknologi keilmuan. Ilmu telah berkembang dengan pesat dan makin esoteric hingga kaum ilmuwan lebih mengetahui tentang ekses-ekses yang mungkin terjadi penyalahgunaan.
Ilmu telah berkembang sedemikian rupa di mana terdapat kemungkinan bahwa ilmu dapat mengubah manusia dan kemanusiaan yang paling hakiki seperti pada kasus revolusi genetika dan teknik perubahan sosial. Berdasarkan katiga hal di atas, maka golongan kedua berpendapat bahwa ilmu secara moral harus ditujukan untuk kebaikan manusia tanpa merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Ilmu secara aksiologis harus senantiasa menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan effeknya terhadap kerusakan lingkungan. Dari dua pendapat golongan di atas, kelihatannya netralitas ilmu terletak pada apistemologisnya saja, artinya tanpa berpihak kepada siapapun, selain kepada kebenaran yang nyata.
Sedangkan secara ontologis dan aksiologis, ilmuwan harus mampu menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan seorang ilmuwan mempunyai landasan moral atau landasan etika dan estetika yang kuat sebagai penuntun dalam berkarya dan berinovasi. Tanpa ini seorang ilmuwan akan lebih merupakan seorang momok yang paling menakutkan yang dapat membuat dunia semakin berantakan. Etika keilmuwan merupakan etika normatif yang merumuskan prinsip-prinsip etis yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan dapat diterapkan dalam ilmu pengetahuan. Tujuan etika keilmuan dapat menerapkan prinsip-prinsip moral, yaitu yang baik dan menghindarkan dari yang buruk ke dalam prilaku keilmuannya, sehingga ia dapat menjadi ilmuwan yang mempertanggungjawabkan perilaku ilmiahnya. Etika normatif menetapkan kaidah-kaidah yang mendasari pemberian penilaian terhadap perbuatan-perbuatan apa yang seharusnya dikerjakan dan apa yang seharusnya terjadi serta menetapkan apa yang bertentangan dengan yang seharusnya terjadi. Pokok persoalan dalam etika keilmuan selalu mengacu kepada elemen-elemen kaidah moral, yaitu hati nurani, kebebasan dan tanggung jawab, nilai dan norma yang bersifat utilitaristik (kegunaan). Hati nurani di sini adalah penghayatan tentang yang baik dan yang buruk yang dihubungkan dengan perilaku manusia.
Nilai dan norma yang harus berada pada etika keilmuan adalah nilai dan norma moral. Lalu apa yang menjadi kriteria pada nilai dan norma moral itu? Nilai moral tidak berdiri sendiri, tetapi ketika ia berada pada atau menjadi milik seseorang, ia akan bergabung dengan nilai yang ada seperti nilai agama, hukum, budaya, dan sebagainya. Yang paling utama dalam nilai moral adalah yang terkait dengan tanggung jawab seseorang. Norma moral menentukan apakah seseorang berlaku baik ataukah buruk dari sudut etis. Bagi seorang ilmuwan, nilai dan norma moral yang dimilikinya akan menjadi penentu, apakah ia sudah menjadi ilmuwan yang baik atau belum.
Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya itu, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat, dan sebagainya. Ini berarti ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai.
Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Oleh karena itu, tanggung jawab lain yang berkaitan dengan penerapan teknologi di masyarakat, yaitu menciptakan hal positif. Namun, tidak semua teknologi atau ilmu pengetahuan selalu memiliki dampak positif ketika berada di tengah masyarakat. Kadangkala teknologi berdampak negatif, misalnya masyarakat menolak atau mengklaim suatu pandangan-pandangan yang telah ada sebelumnya, seperti rekayasa genetika (cloning manusia) yang dapat dianggap bertentangan dengan kodrat manusia atau ajaran agama. Dalam persoalan ini perlu ada penjelasan lebih lanjut.
Bagi seorang ilmuwan apabila ada semacam kritikan terhadap ilmu harus menjelaskan hasil penelitiannya sejernih mungkin atas dasar rasionalitas dan metodologis yang tepat. Di bidang etika, tanggung jawab seorang ilmuwan, bukan lagi memberi informasi namun harus memberi contoh. Dia harus bersifat objektif, terbuka, menerima kritik, menerima pendapat orang lain, kukuh dalam pendirian yang dianggap benar dan kalau berani mengakui kesalahan.
Semua sifat ini, merupakan implikasi etis dari proses penemuan kebenaran secara ilmiah. Di tengah situasi di mana nilai mengalami kegoncangan, maka seorang ilmuwan harus tampil ke depan. Pengetahuan yang dimilikinya merupakan kekuatan yang akan memberinya keberanian. Hal yang sama harus dilakukan pada masyarakat yang sedang membangun, seorang ilmuwan harus bersikap sebagai seorang pendidik dengan memberikan contoh yang baik. Kemudian bagaimana solusi bagi ilmu yang terkait dengan nilai-nilai? Ilmu pengetahuan harus terbuka pada konteksnya, dan agamalah yang menjadi konteksnya itu.
Agama mengarahkan ilmu pengetahuan pada tujuan hakikinya, yakni memahami realitas alam dan memahami eksistensi Allah, agar manusia menjadi sadar akan hakikat penciptaan dirinya, dan tidak mengarahkan ilmu pengetahuan melulu pada praxis, pada kemudahan-kemudahan material duniawi. Solusi yang diberikan oleh al-Qur’an terhadap ilmu pengetahuan yang terikat dengan nilai adalah dengan cara mengembalikan ilmu pengetahuan pada jalur semestinya, sehingga ia menjadi berkah dan rahmat kepada manusia dan alam bukan sebaliknya membawa mudharat. Terkait dengan wacana di atas, bagaimana dengan Islam dalam hal etika keilmuan dan tanggung jawab sosial ilmuwan? Berdasarkan sejarah tradisi Islam ilmu tidaklah berkembang pada arah yang tidak terkendali, tetapi ilmu harus bergerak pada arah maknawi dan umat berkuasa untuk mengendalikannya. Kekuasaan manusia atas ilmu pengetahuan harus mendapat tempat yang utuh, eksistensi ilmu pengetahuan bukan melulu untuk mendesak kemanusiaan, tetapi kemanusiaanlah yang menggenggam ilmu pengetahuan untuk kepentingan dirinya dalam rangka penghambaan diri kepada sang Pencipta. Lebih lanjut, bahwa dalam pandangan Islam tujuan ilmu sama dengan tujuan agama, yaitu untuk kesejahteraan umat manusia.
Karena ilmu memiliki perhatian besar terhadap pendidikan jiwa manusia dan pertumbuhannya, serta menghendaki kepribadian yang luhur. Dan orang yang mencari ilmu sama dengan orang yang mencari hakikat kebenaran.
Seperti yang dijelaskan Al-Maududi dalam Islamic Way of Life, bahwa sistem moral Islam itu memiliki ciri-ciri yang komprehensif yang berbeda dengan sistem moral lainnya. Ciri-ciri tersebut antara lain sebagai berikut: 1. Keridhaan Allah merupakan tujuan hidup Muslim dan merupakan sumber standar moral yang tinggi serta menjadi jalan bagi evaluasi moral kemanusiaan. Sikap mencari ridha Allah memberikan sanksi moral untuk mencintai dan takut kepada-Nya, yang pada gilirannya mendorong manusia untuk mentaati hukum moral tanpa paksaan dari luar.
Dengan dilandasi iman kepada Allah dan hari kiamat, manusia terdorong untuk mengikuti bimbingan moral secara sungguh-sungguh dan jujur, seraya berserah diri secara ikhlas kepada Allah. Semua lingkup kehidupan manusia senantiasa ditegakkan di atas moral islami sehingga moral tersebut berkuasa penuh atas semua urusan kehidupan manusia, sehingga hawa nafsu dan kepentingan pribadi tidak diberi kesempatan untuk menguasai kehidupan manusia. Moral Islam mementingkan keseimbangan dalam semua aspek kehidupan, baik individul maupun sosial. Islam menuntut manusia agar melaksanakan sistem kehidupan yang berdasarkan atas norma-norma kebajikan dan jauh dari kejahatan. Dengan demikian sistem moral dalam Islam berpusat pada sikap mencari ridha Allah, mengedalikan nafsu negatif dan kemampuan berbuat kebajikan serta menjauhi perbuatan keji dan jahat. Islam sangat mementingkan kemaslahtan umat dalam segala aspek kehidupan manusia. Jadi, sangat salah apabila ada statemen bahwa Islam adalah agama yang senang kekacauan dan peperangan.
Islam adalah manifestasi dari Al-Qur’an dan ajaran Nabi (Sunnah) yang menekankan akan pencarian ilmu pengetahuan dan penggunaannya pada jalan kebajikan. Pada saat yang sama Islam berusaha memecahkan kesatuan pemikiran dalam masalah-masalah ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dan masyarakat.
Epistimologi Islam merupakan matriks bahwa semua elemen-elemennya berada dalam satu orientasi yang didasarkan atas jiwa manusia. Dengan kata lain, bahwa Islam merupakan totalitas, sebuah agama, sistem budaya dan juga peradaban.
Dan sebagai sistem holistik, Islam menyentuh setiap aspek upaya kemanusiaan. Etika Islam dan sistem nilainya melalui sistem aktifitas kemanusiaan. Dan di samping itu Islam juga memilki perspektif definisi atas ilmu pengetahuan dan teknologi baik secara filosofis, sosiologis maupun metodologis.
Dalam aplikasinya, manusia dituntut menggunakan pengetahuannya tidak hanya untuk mengenal Tuhannya saja, tetapi juga untuk memberikan pelayanan kepada manusia sebaik mungkin. Pengetahuan tentang Tuhan tidak berdasarkan atas kepercayaan yang buta, tetapi atas dasar pengetahuan terhadap hukum-hukum-Nya yang universal. Oleh sebab itu, alam harus dipelihara sebaik mungkin bagi kepentingan manusia. Segala ilmu yang dipraktikan harus memiliki landasan ilmiah, sebab perbuatan tanpa dilandasi ilmu hanya akan menjadikan naif dan riskan. Hal inilah yang menjadikan motif adanya keharusan menuntut ilmu, sehingga manusia (Muslim) tidak akan berbuat tanpa adanya ilmu. Sehubungan dengan hal di atas, Islam juga sangat mengecam orang yang mengatakan sesuatu, mengerti akan ajaran-ajaran Islam, tetapi tidak melaksanakannya, sebagaimana diterangkan dalam surat Ash-Shaff ayat 3. Karena itu sebagai janji Allah dalam al-Qur’an (lihat QS.
Al-Mujadilah ayat 11), bahwa jaminan keunggulan dan superioritas, termasuk kemenangan dan kesuksesan akan dikaruniakan Allah kepada mereka yang beriman dan berilmu. Beriman dalam arti mempunyai arti ketuhanan dalam hidupnya dengan menjadikan perkenan Tuhan sebagai tujuan segala kegiatannya. Dan berilmu berarti mengerti ajaran secara benar dan memahami lingkungan hidup di mana ia akan berkiprah, sosial budaya dan fisik, seperti ilmu yang dikaruniakan Tuhan kepada Adam sebagai bekal mengemban kekhalifahannya di bumi (lihat QS. Al-Baqarah ayat 31). Iman harus menyatu dalam diri seseorang, sebab jika tidak justru akan membuat malapetaka, bahkan lebih celaka daripada orang yang berilmu. Selanjutnya, tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan ulama’. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, sastra untuk sastra dan lain sebagainya.
Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuansebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini, ilmu pengetahuan itu utuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia utuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkan pendapat yang lainnya cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan. Etika Keilmuan dan Tanggung Jawab Sosial Ilmuan dalam Analisa Penulis Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam abad terakhir ini memang terasa pesat. 100 tahun yang lalu belum terbayangkan manusia mampu mengelilingi dunia dalam waktu 24 jam.
Abad ke 18 belum terbayangkan munculnya media elektronik seperti televisi dan komputer. Teknologi transportasi dan informasi begitu cepat berkembangnya. Perkembangan teknologi dalam berbagai bidang berkembang pesat sejak munculnya penemuan-penemuan ilmu pengetahuan dan teknologi di barat sejak abad 17. Penemuan ilmiah yang dimulai sejak abad ke-17 telah membuka wawasan baru bagi umat manusia. Penemuan-penemuan itu telah memberikan kemudahan bagi manusia dalam beraktifitas dan memenuhi kebutuhan hidupnya, namun pada akhirnya dengan kemudahan-kemudahan tersebut telah mengubah pola hidup masyarakat dalam berbagai aspek dan terjadinya benturan nilai lama dengan nilai baru. Apalagi pada abad 21 ini perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat dibarengi dengan penemuan-penemuan yang semakin mutakhir.
Satu kenyataan yang menjadi permasalahan serius sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yaitu adanya pola hidup masyarakat yang cenderung destruktif dan hedonis. Penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi pada hal-hal yang sangat merugikan kehidupan manusia dan lingkungan dan cenderung tidak memperhatikan norma yang ada. Dilematis memang, di satu sisi kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah banyak memberikan kemudahan. Tetapi di sisi lain, kemajuan ilmu dan teknologi telah membuat chaos yang berkepanjangan dalam sejarah kehidupan manusia. Ini disebabkan karena ilmu pengetahuan dan teknologi dianggap bebas nilai. Bukan hal yang tidak mungkin jika ilmu pengetahuan dan teknologi bebas nilai, suatu saat akan membuat peradaban dunia hancur. Agama dan ilmu pengetahuan menghadapi persoalan yang cukup rumit ketika berhadapan dengan situasi yang demikian.
Satu sisi ilmu pengetahuan di Barat berkembang dengan pesatnya, tetapi jauh dari jiwa agama, sehingga yang terjadi adalah ilmu pengetahuan yang sekuler. Sebaliknya, di Timur masyarakatnya taat beribadah, tetapi lemah moralnya, sehingga muncul bentuk sekularisasi juga dalam umat beragama. Karena itu ada dua alternatif untuk mengatasi persolan tersebut. Pertama, menyesuaikan filsafat dan ilmu pengetahuan yang sekuler dengan ajaran agama, sehingga yang berkembang di dunia bukan filsafat dan ilmu pengetahuan yang sekuler, tetapi filsafat dan ilmu pengetahuan yang agamis. Kedua, mengutamakan pendidikan moral umat beragama, sehingga tercipta umat yang berakhlak mulia. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, sebuah keniscayaan juga bagi para ilmuwan untuk melakukan reorientasi visi dan misi dalam berkarya dan berinovasi, sehingga ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan selalu memberikan yang terbaik bagi peradaban dengan tetap memelihara aturan agama, etika dan estetika. Hal tersebut karena ilmu itu tidak bebas nilai, di samping ilmu pengetahuan dan teknologi berhadapan pada konteks kehidupan.
Etika atau moral dan estetika yang menjadi ajaran dasar agama harus tertanam dalam diri ilmuwan, supaya mereka mempunyai landasan moral dalam melakukan aktifitas keilmuannya, sehingga mereka mampu memberikan yang terbaik bagi umat dan lingkungan, serta mampu dipertanggungjawabkan di depan Tuhan. Terkait dengan pandangan di atas, dalam konteks Islam ilmu pengetahuan dan arah pengembangannya menuju kemaslahatan umat telah banyak di atur dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Bahkan orang yang mencari ilmu, mempunyai ilmu dan mengamalkannnya dengan baik akan mendapatkan penghargaan istimewa dari Tuhan. Di dalam al-Quran, kata العلم diantaranya tersebar dalam lima surah yaitu surah al-Ahqaf ayat 23, Muhammad ayat 16, an-Najm ayat 30, al-Mujadillah ayat 11 dan al-Mulk ayat 26. Ayat-ayat tersebut berkaitan dengan ilmu Allah tentang segala sesuatu dan penghargaan Allah kepada orang yang menguasai ilmu pengetahuan.
Hadits-hadits Rasulullah yang menyatakan penghargaan terhadap ilmu cukup banyak. Orang yang memilik ilmu dan mengajarkannya disamakan dengan Rabbani yaitu orang yang memanfaatkan ilmunya untuk mendidik orang lain sampai ia berperilaku dewasa. Dalam pandangan Islam ilmu pengetahuan bernilai sakral.
Kesakralannya, karena berasal dari Allah Swt dan mengfungsikannya untuk kepentingan umat mendapat gelar rabbani. Terjadinya desakralasisasi ilmu pengetahuan karena memotong pengetahuan dari akarnya. Ketika ilmu tidak kembali ke akarnya maka ilmu itu akan menjadi bebas nilai. Dalam perspektif Islam, semua ilmu tolok ukur kebenarannya adalah al-Qur’an, al-Sunnah dan realitas.
Realitas dalam hal ini adalah sekaligus yang wujud, pengetahuan dan kebahagiaan. Ilmu pengetahuan mempunyai hubungan yang mendalam dengan realitas yang pokok dan primordial yaitu Yang Maha Suci, dan menjadi sumber dari segala yang suci. Wawasan tentang Yang Maha Suci telah menghilang dari konsepsi Barat tentang ilmu pengetahuan. Sementara dalam Islam menjadi teori sentral al-Qur’an. Sesungguhnya yang membedakan cara berpikir Barat dan cara berpikir Islam adalah keyakinan yang tidak tergoyahkan dari cara berpikir yang dilandasi keyakinan bahwa Allah Swt menjadi sumber dari semua yang maujud.
Dan dalam semua yang maujud itu termasuk ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, tujuan ilmu pengetahuan adalah kesadaran akan adanya Yang Maha Suci, maka ilmu harus disertai dengan perbuatan yang bernilai suci supaya manusia terhindar dari perbuatan tercela sebagai simbol kebodohan. Sekaitan dengan itu Allah menyatakan: قال انما العلم عندالله وابلغكم ما ارسلت به ولكني اريكم قوما تجهلون (الاحقاف:23) Artinya: “Ia berkata “Sesungguhnya ilmu itu disisi Allah, dan saya menyampaikan kepadamu apa yang ditugaskan kepadaku, dan aku melihat kamu adalah kaum yang bodoh (al-Ahqaf: 23) قال انما العلم عندالله وانما انا نذير مبين (الملك: 26) Artinya: “Katakan, sesungguhnya ilmu itu di sisi Allah, sesungguhnya aku adalah pernberi peringatan yang menjelaskan” (al-Mulk: 26). Lebih lanjut, al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 31-34 secara gamblang menyatakan dalam bentuk sebuah cerita bahwa pada awal penciptaan, Allah mengajarkan kepada Adam nama-nama benda. Adam sebenarnya merupakan sebuah simbol manusia, sedangkan “nama-nama benda” berarti unsur-unsur pengetahuan baik yang duniawi maupun bukan duniawi. Ketika Allah bertanya kepada malaikat mengenai nama-nama benda yang diketahuinya, para Malaikat mengakui tidak mengetahuinya dan dengan tegas mereka menyatakan kami tidak mengetahui, kecuali apa yang telah diajarkan Allah kepada-Nya.
Ketika Adam diperintah Allah, untuk menjelaskan nama-nama benda, Adam dapat menjelaskannya dengan sempurna. Kemudian Allah memerintahkan supaya malaikat memberi hormat kepada Adam dan mereka melakukannya, kecuali setan yang membangkang dan oleh karenanya mendapat kutukan sebagai pengingkar dan pembangkang.
Kata memberi hormat (bersujud), merupakan simbol pengakuan atas keunggulan. Menarik untuk di-stressing bahwa keunggulan Adam atas para malaikat, lebih disebabkan karena pengetahuannya tentang nama-nama yang telah diajarkan kepadanya, dan bukan karena kesalehan semata. Dalam hal kesalehan, malaikat lebih saleh dari pada Adam. Selain itu, wahyu pertama yang diterima oleh Nabi Muhammad saw yaitu surat al-Alaq adalah perintah untuk membaca. “Bacalah dengan nama Tuhan-mu” (bacalah dengan nama Allah). Perintah ini mengisyaratkan kewajiban menuntut ilmu karena Allah.
Ini mengandung makna bahwa wawasan tentang Yang Maha Suci yang memberi dasar hakiki bagi ilmu pengetahuan, harus menyertai dan memberi inti proses pendidikan pada setiap tahapannya. Allah tidak hanya berada di awal ilmu pengetahuan, tetapi juga berada diakhirnya, menyertai dan memberkati keseluruhan proses pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan. Dalam proses ini, wawasan tentang Yang Maha Suci tidak boleh dilupakan dan seluruh proses serta aktifitas pembelajaran dan pengembangan ilmu pengetahuan hendaknya dapat diarahkan untuk mengenal ke-Maha Sucian dan Kekuasaan-Nya. Seorang mukmin mengetahui tentang Allah hanya melalui apa yang diwahyukan-Nya dalam al-Quran. Kitab suci itu merupakan sumber otentik dari pengetahuan Allah. Salah satu sifat Allah yang disebutkan dalam al-Quran ada yang berarti Yang Memiliki ilmu pengetahuan. Oleh sebab itu, memiliki pegetahuan merupakan sifat Ilahi, mencari pengetahuan menjadi kewajiban setiap mukmin dalam rangka mendekatkan diri.
Apabila setiap mukmin diwajibkan untuk mewujudkan sifat-sifat dalam keberadaannya, maka menjadi suatu keharusan bagi setiap mukmin mempercayai bahwa segala sesuatu yang ada bersumber dari Allah, dan seraya berupaya mencari dan menyerap sifat-sifat Allah dalam wujud mereka, termasuk pengetahuan, sehingga wawasan tantang Yang Maha Suci sebagai sumber pengetahuan dalam kehidupannya dan menjadi darah dagingnya. Memang, tidak semua sifat-sifat Allah dapat diserap oleh manusia mengingat sifat kodratinya yang terbatas dan berhingga. Akan tetapi setiap mukmin pasti dapat memiliki sifat-sifat ilahy sebanyak yang diperlukan untuk pemenuhan dalam realisasi diri. Salah satu diantaranya adalah pengetahuan, karena tanpa pengetahuan pemenuhan diri tidak akan tercapai. Pengetahuanlah yang membedakan antara manusia dan malaikat serta antara manusia dan makhluk yang lain. Dengan pengetahuan seseorang dapat mencapai kebenaran, dan kebenaran (al-haq) adalah nama lain dari Yang Riil dan Hakiki.
Konsep kebenaran mengacu kepada memfungsikan ilmu untuk mengarahkan diri supaya seseorang berkata dan berprilaku sesuai dengan kebenaran. Teori pengetahuan menurut Islam tidak hanya menonjolkan sudut yang khusus dari mana kaum muslimin memandang ilmu, tetapi menekankan keharusan untuk mencari ilmu. Sebagaimana telah dikemukakan bahwa perintah Allah yang pertama kepada Nabi melalui wahyu yang pertama adalah perintah membaca dengan nama Allah. Dari sudut pandang ini, membaca bukan hanya menjadi pintu masuk menuju ilmu, tetapi juga cara untuk mengetahui dan menyadari keberadaan Allah sebagai sumber pengetahuan. Al-Qur’an mewajibkan kaum muslimin menaklukan kekuatan-kekuatan alam untuk kebaikan umat manusia, dan hal itu tidak mungkin terjadi tanpa memahami ilmu murni dan ilmu terapan.
Oleh sebab itu, ilmu mempunyai dua tujuan yaitu tujuan ilahiyah dan tujuan duniawiyah. Ilmu berfungsi sebagai pertanda adanya Allah, sebab orang yang mempelajari alam dan prosesnya dengan cermat dan mendalam akan menjumpai banyak peristiwa yang menunjukan adanya tangan yang tidak tampak, yang membina dan mengawasi semua kejadian alam.
Tangan itu adalah Tangan Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Tujuan duniawi ilmu adalah untuk memungkinkan seseorang hidup sukses dengan cara memahami alam baik yang pisik maupun yang psikis kemudian memanfaatkannya untuk kemaslahatan individual dan sosial. Sedangkan tujuan ukhrawi ilmu adalah supaya dengan ilmu pengetahuan seseorang dapat mengarahkan diri untuk selalu berupaya agar semua aktifitas mempunyai nilai ukhrawi. Demikian pentingnya ilmu pengetahuan menurut al-Qur’an, sehingga Allah memerintahkan Nabi untuk berdoa supaya ilmunya selalu bertambah: وقل ربّ ز د ني علما. Bagi Nabi Muhammad Saw, ilmu pengetahuan lebih utama daripada berdoa. Mengenai hadits-hadits Rasulullah yang menjelaskan tentang penting dan keutamaan ilmu cukup banyak dan populer, antara lain: “Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri cina”, “Carilah ilmu sejak buaian sampai ke liang lahad” dan “Siapa saja yang menginginkan kebaikan di dunia hendaknya mencari ilmu dan siapa saja yang menginginkan kebahagiaan akhirat hendaknya dengan ilmu”.
Oleh karena ilmu harus dicari, bahkan kalau perlu harus musafir ketempat yang jauh seperti jauh dan sulitnya menuju negeri Cina dan Madinah di zaman onta, bahkan lebih jauh daripadanya, maka Islam tidak membatasi ilmu sebatas ilmu hukum Islam saja, tetapi semua ilmu yang membawa kepada kemaslahatan duniawi dan ukhrawi baik individual maupun sosial. Kebenaran ilmu dalam Islam harus dapat dibuktikan baik secara rasional normatif maupun rasional empiris. Tiada dogma bagaimanapun keramat dan tuanya, yang diterima dalam Islam, kecuali ilmu itu telah diuJi secara normatif dan empirik. Al-Qur’an menantang kaum penganut kepercayaan yang palsu supaya menunjukan bukti-bukti tentang kebenarannya. Mereka yang tidak menerima kebenaran al-Qur’an sebagai sumber kebenaran ditantang untuk menulis satu surat saja, Jika memang mereka masih meragukan kebenaran al-Quran yang sangat banyak memiliki data empiris dan rasional, dan jauh lebih banyak dari sekadar pengetahuan manusia yang ditemukan melalui penelitian bertahun-tahun untuk menemukan suatu penemuan, yang bahkan masih mengandung kebenaran yang relatif.
Sebagaimana dalam surat al-Baqarah ayat 23, yaitu: وان كنتم فى ريب مما نزلنا على عبدنا فأتوا بسورة من مثله وادعوا شهداء كم من دون الله كنتم صدقين (البقرة: 23) Artinya: “Dan jika kamu dalam keraguan tentang kebenaran al-Qur’an yang kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat saja yang sama dengan al-Quran dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar” (al-Baqarah: 23). Al-Quran juga menekankan begitu pentingnya bukti dan kesahihan data, sehingga menasihatkan orang-orang yang beriman supaya tidak menerima informasi yang belum jelas sumber dan kebenarannya dan tidak menyikapi sesuatu pendapat atau pernyataan tanpa dasar pengetahuan yang dapat dipertanggung-jawabkan baik di sisi Allah maupun ke khalayak ramai. ولاتقف ماليس لك به علم ان السمع والبصروالفؤاد كل اولئك كان عنه مسئولا(الاسراء: 36) Artinya: “Dan Janganlah kamu menyikapi sesuatu yang kamu tidak memiliki pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya akan diminta pertanggung-jawabannya (al-Isra’: 36). Ayat di atas mengisyaratkan larangan untuk membuat pernyataan yang berdasar pada data yang tidak valid dan tidak dapat dipertanggung-jawabkan secara empiris maupun normatif.
Main tebakan dan perkiraan semata harus dihindari karena pengetahuan tanpa dasar yang jelas adalah sama dengan berbuat dosa. Ada satu prinsip ilmu pengetahuan bahwa proposisi itu tidak lebih dari suatu pernyataan yang mungkin saja benar atau tidak benar.
Proposisi itu akan benar jika didukung oleh bukti dan data yang valid dan reliable. Di sinilah arti pentingnya ilmu metode penelitian atau methodologi research dan penerapannya untuk memperoleh data yang sahih dan akurat.
Haruslah menjadi suatu prinsip bahwa suatu bukti yang diambil dari tradisi harus dirubah, apabila ternyata bertentangan dengan data empiris hasil indra. Dengan demikian, ilmu dan kebenaran tidak bisa dipisahkan.
Artinya, suatu ilmu akan memiliki nilai kebenaran bila didukung oleh sumber data normatif dan empiris yang valid dan reliable. Kebenaran harus berdasar pada ilmu yang dapat dipertanggungjawabkan secara moral dan sosial dihadapan Tuhan Yang Maha Suci sebagai sumber semua ilmu pengetahuan. Kesimpulan Dari uraian wacana di atas dapat disimpulkan bahwa dari segi aksiologis pengembangan ilmu pengetahuan dan penggunaan teknologi sebagai hasil eksplorasi ilmu pengetahuan harus selalu mengacu pada wawasan yang kudus dan kemanusiaan. Dalam artian penekanan pada aspek vertikal dan horizontal sebagai landasan moral dalam berkarya dan berinovasi merupakan keniscayaan yang harus dilakukan. Dengan berlandaskan iman dan berorientasi pada kemaslahatan manusia sebagai visi dan misi perjuangan tentu peradaban dunia akan menapaki era emas, di mana nilai-nilai kemanusiaan terjaga dan sarat nilai ketuhanan. Untuk itu, dalam konteks ini agama, etika, estetika, dan aturan adat harus tetap terjaga. Jangan sampai pengembangan ilmu pengetahuan menganut konsep barat yang sekuler dan antroposentris yang bisa membuat dunia semakin berantakan dan gersang nilai ketuhanan.
Di dalam Islam bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dengan berlandaskan pada wawasan yang kudus merupakan suatu keharusan, yaitu Allah adalah Zat Yang Maha Wujud, Yang Maha mengetahaui dan sumber dari segala ilmu pengetahuan. Segala bentuk aktifitas yang dilakukan harus diniatkan sebagai ibadah untuk mendapatkan ridha-Nya. DAFTAR PUSTAKA Al-Bukhari, Shahih Bukhari Kitab al-‘Ilm, CD. Al-Maududi, Abul A’la, Islamic Way of Life, Islamic Publication, Lahore, 1967. Azhim, Ali Abdul, Epistemologi dan Aksiologi Ilmu Pengetahuan Perspektif Al-Qur’an, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1989. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, CV.
Toha Putra, Semarang, 1989. Bakhtiar, Amsal, Filsafat Ilmu, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004. ——-, Filsafat Agama 1, PT Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 1997. Budianto, Irmayanti M., Filsafat dan Metodologi Ilmu Pengetahuan Refleksi Kritis atas Kerja Ilmiah, Fakultas Sastra Universitas Indonesia, Depok, 2001. Frondiz, Risieri, What Is Value, alih bahasa Cuk Ananta Wijaya, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001. Hasbullah, Moeflieh (ed), Islamisasi Ilmu Pengetahuan, PT.
Pustaka Cidesindo, Jakarta, 2000. Kattsoff, Louis O., Elemens of Phlosophy, The Roland Press Company, New York, 1953. Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban, Yayasan Paramadina, Jakarta, 1992. Nasution, Harun, Iptek Berwawasan Moral dalam Perspektif Filsafat dan Pemikiran Islam, dalam makalah seminar Iptek Berwawasan Moral di IAIN 8 Agustus 1996. Qadir, C.A., Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, Yayasan Obor, Jakarta, 1989.
Saifullah, Konsep dasar Filsafat Ilmu, Program Pascasarjana UIN Malang, Malang, 2004. Salam, Burhanuddin, Logika Materil; Filsafat Ilmu Pengetahuan, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1997. Sudarsono, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1993. Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001.
Zainuddin, M., Filsafat Ilmu Perpektif Pemikiran Islam, Bayumedia Publishing, Malang, 2003.